Monday, April 10, 2017

Ekonomi Aceh Melemah Rakyat Menjerit

Ekonomi Aceh Melemah Rakyat Menjerit

BANDA ACEH - Dalam enam tahun (2011-2016), pertumbuhan ekonomi Aceh selalu di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, fluktuatif dan mengalami kontraksi minus 0,72 persen pada 2015.
Pertumbuhan ekonomi Aceh pada 2011 tercatat 3,28 persen, kemudian 2012 naik jadi 3,85 persen, namun mulai menurun pada 2013 menjadi 2,61 persen dan 2014 menjadi 1,55 persen hingga mengalami kontraksi minus 0,72 persen. Meskipun pada 2016 kembali positif namun hanya 3,30 persen secara kumulatif dibandingkan tahun sebelumnya.
Data-data tersebut dipaparkan Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Dr Arif Budimanta dalam Focus Group Discussion (FGD) Regional Growth Strategy menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, merata dan berkualitas, di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Selasa (28/2). Diskusi tersebut dihadiri Kepala Bappeda Aceh, Zulkifli Hasan, Kepala Otoritas Jasa Keuangan perwakilan Aceh, Ahmad Wijaya Putra, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Wahyudin MM, perwakilan dari BI serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Aceh, serta pengamat ekonomi Aceh, Rustam Effendi MEcon, dan pengusaha.
MENARIK membaca dan menganalisis berbagai indikator ekonomi Aceh yang cenderung negatif sebut saja penganguran Aceh berkisar pada angka 8% lebih dari angkatan kerja atau di atas rata-rata Nasional pada kisaran 5%, angka kemiskinan di provinsi Aceh juga sangat kronis mencapai angka 18% dari jumlah penduduk, angka ini juga di atas rata-rata tingkat kemiskinan Nasional berkisar pada 10%.
Laju pertumbuhan ekonomi PDRB atas dasar harga konstan jauh lebih rendah dari perumbuhan ekonomi secara nasional 1,65%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi secara Nasional pada kisaran 5-6%, indikator lainnya adalah tingkat pendapatan perkapita masyarakat Aceh berkisar Rp 26 juta/kapita yang berada dibawah rata-rata nasional Rp 42 juta per kapita. Hal ini mencerminkan rendahnya daya beli masyarakat sehingga tidak salahnya apabila posisi perekonomian Aceh berada dalam posisi mati suri.
Kondisi perekonomian yang sedang “matisuri” ini menjadi tantangan bagi para pemimpin di Aceh untuk melaksanakan terobosan sebagai “terapi kejut” untuk menguatnya kembali urat nadi perekonomian Aceh, sehingga mampu menciptakan lapangan kerja baru, pengurangan angka kemiskinan, serta peningkatan tingkat pendapatan masyarakat.
Faktor kelemahan
Kelemahan perekonomian Aceh dapat dipetakan pada tiga kelemahan utama yaitu: Pertama, tidak memiliki industri hilir yang mengolah bahan-baku menjadi bahan setengah jadi dan bahan jadi. Aceh memiliki sumber daya alam mineral minyak bumi, gas, batubara, batu mulia, emas, dan kekayaan dibidang perkebunan kelapa sawit, karet, pinang, kelapa, nilam, serta hasil laut dan budidaya ikan air tawar. Namun sayangnya, tidak dibarengi dengan pembangunan kawasan industri seperti kawasan industri Belawan, Sumatra Utara.
Hal ini mengakibatkan tidak ada nilai tambah produk yang dihasilkan di Aceh. Bahkan sebaliknya nilai tambah produk dinikmati oleh provinsi lain seperti Sumatra Utara. Hal inilah yang mengakibatkan rendahnya penyerapan tenaga kerja di provinsi Aceh dan tinggi ketergantungan Aceh dengan provinsi Sumatra Utara.
Kedua, kurangnya sinkronisasi dalam pembangunan antara provinsi dan kabupaten serta antara kabupaten dengan kabupaten lainnya. Hal ini terlihat dari pembangunan infrastruktur di Aceh yang belum terkoordinir antarprovinsi dan kabupaten. Dana alokasi khusus dari pemerintah pusat yang mencapai Rp 6-7 triliun setiap tahunnya, tidak fokus pada penguatan satu per satu infrastruktur di Aceh, misalnya pembangunan pelabuhan yang merata di tiap-tiap kabupaten yang semestinya digunakan untuk membangun pelabuhan peti kemas terbesar di Sumatera dengan dana patungan.
Ekonomi Aceh Melemah Rakyat Menjerit

Tantangan lainnya yang akan mengakibatkan mati surinya perekonomian Aceh adalah melemahnya perekonomian Indonesia akibat dari melesunya perekonomian global. Bank Dunia melaporkan pertumbuhan ekonomi Cina yang stagnan 6,7% yang berakibat pada nilai ekpor komoditi Indonesia dan juga tentunya provinsi Aceh.
Mencegah ‘matisuri’ 
Untuk mencegah perekonomian yang loyo di tahun politik 2017, ada beberapa langkah yang disarankan kepada pemerintah yaitu: Pertama, penguatan sektor pertanian dan perkebunan karena sebagian masyarakat Aceh bermatapencarian sebagai petani. Karena itu, pemerintah daerah perlu memprioritaskan sektor pertanian dan perkebunan dengan menghidupkan kembali koperasi unit desa (KUD) yang dikelola secara profesional bekerja sama dengan pihak swasta.
Artinya, KUD menjadi bank-bank desa yang memiliki staf yang membantu petani mengurus kredit, memasarkan, menyimpan, dan mengelola usaha pertanian dan perkebunannya. KUD memiliki sistem kerja seperti unit bank yang tenaga kerja berasal dari kalangan profesional yang dikontrak oleh pemerintah daerah.
Kedua, penguatan sektor industri, dengan dana otonomi khusus (otsus) digunakan untuk membangun pabrik milik pemerintah seperti pabrik CPO, pabrik minyak goreng seperti halnya Bank Aceh maka perusahaan ini akan menyerap tenaga kerja dan menciptakan keuntungan bagi daerah. Contohnya pabrik CPO di dua lokasi Aceh Tamiang dan Nagan Raya, pabrik minyak goreng di Aceh Utara, pabrik Ikan di Aceh Selatan, pelabuhan peti kemas di Aceh Besar.
Ketiga, sektor pariwisata dengan menjadikan Aceh sebagai pusat peradaban Islam Nusantara sebagai daerah pertama masuknya Islam ke Indonesia dan juga ASEAN. Pemerintah daerah perlu mempromosikan kelebihan Aceh dibandingkan dengan provinsi lainnya dari sektor pariwisata religi dan kuliner halal. Dengan terbukanya masyarakat ASEAN makan ada 550 juta penduduk ASEAN yang bebas berkunjung ke Aceh.
Dengan tiga terobosan ini akan mencegah perekonomian Aceh dari “matisuri” dan memacu urat nadi perekonomian rakyat Aceh 2017. Selamat memasuki tahun baru semoga masyarakat Aceh dapat tidur dengan perut kenyang dalam bumi Sultan Iskandar Muda yang bernafaskan pada khasanah Islam, Serambi Mekkah.
Sumber : internet
Load disqus comments

0 komentar